Dimensi Tanpa Nama - Maura Carla Dinda L.


23.00 WIB
Temanggung, 1 Agustus 1990
            Malam ini berbeda dengan malam lainnya. Agnes tampak sibuk bekerja di gudang. Dia gadis yang sangat terobsesi dengan penjelajahan waktu. Meskipun ia masih duduk dibangku kelas dua di SMPN Taruna dan tak pernah mendapat dukungan dari teman-temannya, ia tetap bertekat menciptakan sebuah mesin waktu walau dengan kemungkinan 0,01 %.
            “Nes, kamu jangan terlalu terbebani dengan experiment gila ini!” kata Jessie, sahabat Agnes.
            “Iya, Nes, lagipula experiment ini nggak akan berhasil.” Sambung Macha.
            “Aku nggak peduli, meskipun kemungkinan berhasilnya hanya 0,01% Aku akan tetap berusaha !” Teriak Agnes.
            “Tapi ini udah larut malam, Nes. Kamu bisa terusin ini besok pagi.” Usul Jessie
            “Nggak ! Ini hanya tinggal sedikit lagi. Aku hanya perlu mencari apa bahan bakar dan penyalanya.” Bantah Agnes.
            “Lupakan ! Aku nggak mau berurusan dengan experiment gila ini ! Ini nggak akan berhasil !” Kata Macha beranjak pergi dari gudang.
            “Macha benar, Nes. Sudahlah. Aku akan menyusul Macha.”  Jessie pergi meninggalkan Agnes sendiri dalam kegelapan.
           Agnes mulai menyusun unsur-unsur dasar dari mesin waktu buatannya. Keringat bertetesan membasahi wajah manisnya. Agnes mengambil sebuah tabung berisi cairan kimia radio aktif, kemudian dituangkan kedalam tabung tempat bahan bakar mesin waktu. Tiba-tiba tampak senyum mengembang dari wajah Agnes.
            “Akhirnya ! Aku berhasil menemukan bahan bakar mesin waktu ini ! Aku nggak nyangka kalau ini bakal berhasil ! Besok aku harus memberi tahu teman-teman ! Akhirnya !” Seru Agnes kegirangan.
            Agnes beranjak meninggalkan gudang dengan hati gembira.
            “Aku nggak percaya !” Seru Jessie mendengan cerita Agnes di Sekolah.
            “ Bohong !” Tambah  Macha.
            “Bener ! Aku nggak bohong ! Malam ini juga aku akan berangkat ke masa depan. Aku akan menjelajah waktu !”
            “Siapa yang mau menjelajah waktu ?” Tanya Diky yang tanpa sengaja mendengar percakapan Agnes, Jessie, dan Macha.
            “Ini, Agnes. Dia berhasil menciptakan mesin waktu.” Jawab Macha dengan nada meremehkan.
            “Emang kamu nggak tahu, ya, Dik ?” Tanya Jessie.
            “ Nggak.” Jawab Diky.
            “Udahlah, mendingan kalian semua nanti malam datang ke rumahku. Tengah malam nanti aku akan pergi menjelajah waktu !”
            “Aku akan datang untuk menyaksikan kegagalan mu !” Sindir Macha.
            “Sstt.. Macha ! Jangan gitu !” Jessie memberitahu.
            “Kita buktikan nanti malam !” Kata Agnes.
            “ Akhirnya setelah dua tahun experiment, sekarang telah menemukan juga ujungnya.” Sindir Macha lagi.
            “Ini belum di ujung. Pada ujungnya aku akan membawa banyak benda masa depan dan akan aku tunjukkan pada kalian !”
            “Stop !! Bisakah kalian hentikan perdebatan kalian ?” Kata Diky.
            “Sudahlah. Sebentar lagi jam pelajaran pertama di mulai,mendingan sekarang kita masuk kelas.” Ajak Jessie.
            Agnes, Diky, Macha, dan Jessie beranjak masuk kedalam kelas.

23.45 WIB
Temanggung, 2 Agustus 1990
Karena waktu akan menjawab semua impian.
            Bermula dari keinginan untuk menjelajahi waktu. Agnes Slavenatalia, anak usia tiga belas tahun ini mampu menciptakan sebuah mesin waktu dengan kapasitas satu orang, walau tanpa dukungan, ia tetapberusaha dan selalu mencoba. Akhirnya, usahanya selama ini membuahkan hasil.
             Agnes tampak sibuk memeriksa kembali mesin waktunya. Ia menambah sedikit lem perekat pada bagian besi yang retak.
            “Kemungkinan kamu tiba ditahun berapa ?” Tanya Jessie.
            “Kalau menurut perhintunganku, aku akan tiba pada tanggal 3 Agustus 2990, tepatnyapada pukul 03.00 WIB.” Jawab Agnes.
            “Ini nggak masuk akal !” Seru Diky.
            “Aku akan buat ini masuk akal. Aku akan bawakan benda-benda dari masa depan.” Kata Agnes meyakinkan.
             “Bagaimana kalau kamu nggak bisa kembali ?” Tanya Jessie cemas.
            “Aku akan kembali. Aku janji. Aku tiba pada pukul 03.00, kalian hanya perlu menekan tombol merah ini dan aku akan segera kembali. Perbedaan waktu masa sekarang dengan masa depan yang akan aku jelajahi adalah tiga jam, jadi kalian harus menekan tombol merah ini pada pukul 02.00 waktu sekarang. Kalian mengerti ?” Jelas Agnes sambil menunjukkan tombol merah yang dimaksud.
            “Pandai sekali. Cepatlah berangkat !” Kata Macha sadis.
            “Macha emang kadang iri sama kamu, Nes, karena semenjak kamu masuk di SMPN Taruna, kamu selalu meraih predikat ranking satu, padahal dulu predikat itu selalu diperoleh Macha.” Bisik Jessie kepada Agnes.
            “Aku mengerti. Semoga Macha bisa menerima kenyataan yang ada. Aku masuk sekolah ini juga karena beasiswa. Macha orang kaya, dia cantik dan seorang model, Dia mempunyai banyak kelebihan daripada aku.”  Bisik Agnes kepada Jessie.
            “Semoga agen CIA atau FBI nggak tahu. Kalau mereka sampai tahu, mereka akan menjadikan mesin waktu ini untuk menjelajah waktu sesuka hati, memonopoli, an menguasai waktu. Keseimbangan waktu akan hancur. Dunia bisa kiamat !” Kata Diky memotong pembicaraan antara Agnes dan Jessie.
            “Mereka nggak akan tahu kalau diantara kita nggak ada yang memberitahu. Aku mohon jaga rahasia mesin waktu ini.” pinta Agnes.
            “Jangan khawatir, kita akan menjaga rahasia ini.” Kata Jessie disertai anggukan Diky.
            “Yah, yah, yah. Sepertinya sudah saatnya Agnes pergi, kaluau dia emang bisa pergi, sih.” Kata Macha.
            “Nes, sebelumnya, apa bahan bakar mesin ini ?” Tanya Jessie.
            “Bahan bakarnya adalah darah golongan AB.” Jawab Agnes sambil duduk dikursi mesin waktu.
            “Darah ?!” Kata Jessie dan Diky bersamaan.
            “Tenang aja, aku udah siapin bahan bakarnya. Jess, tolong isi tabung bahan bakar dengan segelas darah yang ada didalam lemari fertilizer itu. Itu darahku.” Jelas Agnes.
            “Baiklah, Nes.” Jessie mengambil segelas darah dan dituangkan dalam tabung bahan bakar mesin waktu.
            “ Kau gila, Nes ! Menciptakan mesin waktu dengan bahan bakar darah !” Seru Diky yang masih kaget.
            Agnes tidak menghiraukan Diky. Ia memasang helm waktu dan sabuk pengaman. Sebelumnya, ia telah mempersiapkan berbagai macam peralatan seperti batu baterai,  korek api, senter, ijazah SD, dan bekal makanan yang ia masukkan  ke dalam tas coklat miliknya.
            “Udah siap, Nes ?” tanya Jessie meyakinkan.
            “Udah. Aku terima resikonya !” jawab Agnes dengan sedikit keraguan. Tampak keringat menetes melewati pipinya.
            Jessie menekan tombol tombol merah dengan keraguan. Beberapa saat kemudian, Agnes menghilang dari hadapan mereka. Mesin waktu Agnes berhasil.

03.01 WIB
Temanggung, 3 Agustus 2990
            Agnes sampai di masa depan. Dengan langkah gontai, ia menelusuri jalan dalam kegelapan malam. Ia berpikir apakah mesin waktunya benar-benar  berhasil atau tidak, karena baru ia sadari ini semua tidak masuk akal.
             Agnes berhenti dibawah lampu jalan. Ia menatap sekeliling dengan seksama. Banyak toko beralamat Temanggung, tapi ini bukan seperti Temanggung pada tahun 1990. Temanggung sudah seperti kota metropolitan lainnya. Gedung besar bertingkat, kereta layang, gedung pencakar langit, trotoar yang terbuat dari campuran aluminium dan batu karang, dan masih banyak lagi. Benar-benar bukan seperti Temanggung.
            “Jangan keluar malam. Anak gadis tidak baik keluar malam. Sendirian lagi.” Kata seorang pria memecah keheningan.
            “Hah? Kamu siapa? Mau apa ?” tanya Agnes kaget.
            “Kenalkan, aku Julian. Rumahku ada di gang sebelah perigaan itu. Kamu siapa ? Perasaan, aku nggak pernah melihat kamu, deh, disini. Kamu pendududk baru, ya ? Mau kemana ? Mau aku antar ?”
            “Eh ? Aku Agnes. Agnes Slavenatalia. Aku berasal dari masa lalu. Tepatnya dari Temanggung pada tahun 1990. Aku sedang times tour.”
            “Hahaha.. Kamu ini gila, ya? Aneh banget. Lebih baik kita ngobrol di rumahku saja. Nggak enak dilihat orang kalau disini. Jangan khawatir, aku anak baik-baik, kok.”
            “Hmm.. Gimana, ya?”
            Julian menarik tangan Agnes. Tiba-tiba sepatu yang dipakai Julian melesat cepat bagaikan roket. Agnes berpegangan erat pada pundak Julian. Dalam hitungan detik, Julian dan Agnes sampai rumah Julian.
            Rumah Julian Nampak berbeda dengan rumah ditahun 1990. Rumah Julian keseluruhan berwarna silver aluminium. Jadi lebih mirip rumah robot.
            Agnes melangkah melewati pagar halaman. Ia mengamati sekeliling. Julian tidak memiliki tetangga.Disamping rumah Julian hanya ada hutan hutan dan hutan. Kegelapan menghiasi rumah Julian.
            “Selamat datang, Tuan Julian.” Terdengar suara robot ketika Julian meletakkan telunjuknya di Finger print yang menempel pada pintu rumah disertai beraneka ragam lampu hias yang secara reflex hidup sendiri.
            Agnes terkejut begitu masuk kedalam rumah Julian. Sejauh mata memandang hanya warna silver yang ia lihat.
            “Silahkan duduk, nona masa lalu. Hahaha..” Kata Julian menggoda.
            “Aku memang dari masa lalu. Kalau nggak percaya, kamu boleh lihat ijazah SDku.” Kata Agnes sambil menyerahkan ijazah SD miliknya.
            Julian menatap ijazah itu dengan seksama. Beberapa saat kemudian, tampak ekspresi kaget  bercampur rasa tak percaya pada raut muka Julian.
            “Masih nggak percaya, Tuan Julian ? Baiklah, aku boleh minta sediki barang-barang yang ada disini untuk oleh-oleh jika aku pulang nanti ?” pinta Agnes sambil mengambil berbagai macam hiasan di rumah Julian. “Oh, iya, bisa kamu ceritakan bagaimana kondisi Temanggung tahun ini ?”
            “Hah? Oh, baiklah. Temanggung, sekarang sudah menjadi kota metropolitan. Masyarakatnya hidup tentram, aman, dan damai. Bahkan sekarang Indonesia bukan lagi negara berkembang. Indonesia sudah menjadi negara maju. Setiap ada sea-games, Indonesia sering sekali menang. Pemerintah juga sudah lebih bijaksana. Tidak ada koruptor, penduduk tidak mampu sangat sedikit, obat untuk virus HIV telah ditemukan, pemerintah akan memberikan robot pelayan pribadi kepada semua masyarakat. Kini sekolah yang mendatangi kita, masksudnya ada robot guru yang setiap harinya datang kerumah. Ya, seperti kita sekolah private dirumah. Tapi setiap bulannya harus membayar 500.000,00 .” Jelas Julian panjang lebar sambil terus menatap Agnes tanpa berkedip. Seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi.
            “Wow ! Berarti dunia ini dikuasai robot, ya ?”
            “Ya, begitulah. Manusia hanya menerima hasil. Sistem gotong royong sudah hampir punah. Masyarakat hanya menikmati kepuasan hidup masing-masing.”
            “Waw ! Aku nggak percaya, ternyata semaju itu, ya, Indonesia? Beda sama zamanku. Masih tradisional.”
            Julian dan Agnes tertawa bersama. Agnes kembali sibuk memilih barang yang akan ia bawa, sementara Julian terus membaca ijazah Agnes dengan cermat. Masih ada ketidak percayaan di hati Julian.

01.58 WIB
Temanggung, 3 Agustus 1990
            Jessie dan Diky telah bersiap menanti menit-menit Agnes kembali. Sepuluh menit lagi Agnes akan pulang dengan membawa berbagai macam benda-benda masa depan.
            “10.. 9.. 8.. 7.. 6..” Diky menghitung detik-detik terakhir.
            “5.. 4.. 3.. 2..” Jessie melanjutkan.
            Diky menekan tombol merah untuk mengembalikan Agnes. Namun, mesin waktu tidak  bekerja. Mesin itu mengeluarkan asap hitam dari tabung bahan bakar. Diky memeriksa tabung bahan bakar.
            “Astaga ! Bahan bakarnya kosong !” Gumam Diky. “Jess, cari bahan bakar lagi ! Barangkali masih ada. Agnes nggak akan bisa kembali !”
            Jessie mencari bahan bakar cadangan, tapi hasilnya nihil. Ternyata Agnes hanya menyediakan satu bahan bakar.
            “Dik, bahan bakarnya nggak ada. Apa kita cari aja? Pakai darah kita !” Usul Jessie.
            “Tapi bahan bakarnya adalah darah golongan AB, darahku B, darah kamu O, kan ?” kata Diky.
            “Setahuku golongan darah Macha adalah AB, sama seperti Agnes. Tapi, apa Macha mau mendonorkan darahnya? Satu gelas darah itu banyak, lho, Dik”
            “Lalu siapa lagi? Cha, gimana?” Diky melirik ke arah Macha yang sedang bermain gameboy.
            “Apa? Mendonorkan darah untuk bahan bakar mesin? Lebih baik aku mendonor darah untuk rumah sakit.”
            “Ayolah, demi sahabatmu sendiri. Please, Cha. Aku akan lakukan apapun yang kamu minta asal kamu mau mendonorkan darahmu untuk keselamatan Agnes. Aku mohon, Cha.” Diky berlutut dan memohon-mohon di hadapan Macha.
            Macha tak kuat melihat tingkah Diky. Akhirnya Macha mau mendonorkan darahnya. Dini hari itu juga proses pengambilan darah dilakukan. Untung Jessie adalah dokter kecil di sekolah, dan Agnes punya alat pengambil darah.

05.00 WIB
Temanggung, 3 Agustus 2990
            Agnes menunggu di trotoar ditemani Julian. Perasaannya was-was. Agnes berpikir jangan-jangan mesinnya mengalami gangguan, atau teman-temannya lupa dan ketiduran. Julian bersenandung. Lagu blues yang dinyanyikannya begitu merdu. Agnes menatap Julian. Julian tinggi, putih, dan keren.
            “Jul, kamu kelas berapa, sih?” Tanya Agnes.
            “Kelas sembilan. Kamu?”
            “Aku kelas delapan. Huft.. dingin, ya ?”
            Julian melepas jaketnya dan diberikan kepada Agnes. Agnes sempat menolak, tapi Julian tetap memakaikan jaketnya pada Agnes.
            “Makasih,” kata Agnes. “Kenapa aku belum dijemput juga, ya?”
            “Mungkin kamu memang ditakdirkan untuk hidup disini selamanya.”
            “Nggak mau ! Aku kan nggak punya siapa-siapa disini. Aku pengen pulang.”
            “Kan kamu bisa tinggal denganku. Aku juga hidup sendiri kok disini. Ayah Ibuku sibuk bekerja di luar negeri. Setahun paling lama pulangnya hanya seminggu. Aku sudah biasa hidup sendiri dengan Dylant, robot pelayan pribadiku.”
            “Emang enak hidup di zaman sekarang. Tapi aku ingin pulang kezamanku. Aku kangen teman-teman, guru, Ayah, Bunda, dan semua orang yang aku sayangi.”
            Julian tersenyum, Agnes balas tersenyum. Julian bersenandung kembali dan Agnes bersandar pada bahu Julian sambil menatap fajar.
02.05 WIB
Temanggung, 3 Agustus 1990
            Diky memeriksa mesin waktu Agnes. Jessie masih menemani Macha yang berbaring di sofa. Macha masih lemas karena baru saja darahnya diambil satu gelas. Diky tampak gelisah.
           “Ah, sial ! Aku menyesal dulu nggak ikut membantu Agnes merancang mesin waktu ini !” Gerutu Diky. “Aku menyerah !”
            “Jangan menyerah dulu, Dik. Bagaimana kalau kita minta tolong Prof. Foggy ? Beliaukan ilmuwan hebat. Barangkali Beliau bisa membantu.” Usul Jessie.
            “Ide bagus ! Tapi aku nggak tahu dimana rumah Prof. Foggy.” Kata Diky.
            “Aku tahu di mana tempatnya. Ayo, kita harus bergegas! Kalian bawa sepedakan?” Kata Macha tiba-tiba berdiri dipintu gudang.
            “Macha? Serius? Ya, udah, ayo kita bergegas ! Macha, kamu pakai sepeda Agnes, Jessie kamu di sini saja, menjaga mesin waktu ini. Barangkali terjadi sesuatu dengan mesin ini. Kamu nggak keberatankan?” Kata Diky menjelaskan disertai anggukan Macha dan Jessie.
            Diky dan Macha mengayuh dengan cepat. Malam itu kabut tebal menutupi sebagian besar ruas jalan. Jarak pandang kira-kira hanya tiga meter.
             Sepuluh menit perjalanan.  Diky dan Macha telah sampai di depan rumah Prof. Foggy. Rumah Prof. Foggy bagaikan sarang hantu. Sarang laba-laba ada disetiap sudut rumah, lampu redup terpasang di depan pintu, dedaunan kering tersebar di halaman, pagar kayu lapuk, dan yang paling parah adalah banyak kotoran kelelawar tersebar di teras rumah.
            “Prof ? Prof. Foggy ? Anda dirumah? Ini Diky dan Macha.” Teriak Diky sambil mengetuk pintu.
            Tidak ada jawaban. Diky terus mencoba mengetuk-ngetuk pintu rumah. Namun hasilnya nihil. Tetap tidak ada jawaban.
            “Apa perlu kita dobrak pintunya?” Saran Macha.
            “Ok, aku coba. Cha, kamu mundur dulu, ya?”
            Diky mundur beberapa langkah, lalu ia berlali kencang dan mendobrak pintu rumah yang sudah agak lapuk dimakan usia. Pintu berhasil terbuka. Diky dan Macha masuk kedalam. Sarang laba-laba memenuhi ruangan. Terdengar suara Prof. Foggy dari arah laboratorium.
            “Prof ! Kami butuh bantuan anda !” Teriak Diky sambil berlari kearah laboratorium.
            “Ada apa anak-anak?” Tanya Prof. Foggy.
            “Ceritanya panjang, Prof. Tapi kami harus membawa anda segera ke gudang Agnes. Ini masalah mesin waktu !” Jelas Diky.
            “Mesin waktu?”
            “Ayo ikut kami. Akan kami jelaskan nanti diperjalanan.”
            “Baik, baik. Ayo kita segera berangkat.”
            Prof. Foggy, Diky, dan Macha bergegas kembali ke gudang Agnes.
        
            Sesampainya di gudang Agnes. Prof. Foggy langsung memperbaiki mesin waktu. Diky, Jessie dan Macha berdiri tegang di depan pintu gudang.
            “Mesin ini tidak berfungsi karena ada satu paku yang terlepas. Saya akan mencoba memasang paku lain kedalamnya. Semoga bisa.” Kata Prof. Foggy.
            Prof. Foggy memasang paku dengan menggunakan alat khusus ciptaannya. Diky, Jessie, dan Macha membantu Prof. Foggy.
            Prof. Foggy perlahan-lahan memasukkan paku ke dalam lubang pada tabung bahan bakar. Ia harus extra hati-hati dan teliti sebab kalau tidak akibatnya akan fatal kerena tabung bahan bakar merupakan salah satu bagian mesin waktu yang paling sensitive.
           
Pemasangan paku menghabiskan waktu dua puluh menit. Prof. Foggy, Diky, Jessie, dan Macha merebahkan diri di lantai. Namun, tiba-tiba paku itu terlepas kembali. Prof. Foggy, Diky, Jessie, dan Macha tersentak kaget.
            “Astaga ! Kenapa bisa lepas lagi?” kata Prof. Foggy sambil memungut paku yang jatuh dan berusaha memasangnya lagi.
            “Mungkin hanya paku yang asli saja yang bisa di pasang, karena sepertinya sebelum di pasang, Agnes mencelupkan paku itu ke dalam cairan kimia” kata Jessie.
            “Tapi dimana paku itu sekarang?” Tanya Diky cemas.
            “Saya heran, kok bisa paku besar dan terpasang erat bisa terlepas. Saya curiga, ada yang mengambil pakunya.” Kata Prof. Foggy.
            “Kami menjaga mesin ini semalaman semenjak Agnes pergi ke masa depan.” Jelas Diky.
            “Bukannya menuduh, tapi saya curiga pelakunya adalah salah satu dari kalian.” Tuduh Prof. Foggy
            “Kenapa Profesor bisa berpikiran seperti itu? Demi Tuhan, bukan aku pelakunya !” kata Diky penuh keyakinan.
            “Aku juga. Demi apapun, bukan aku!” sambung Jessie sambil mengangkat kedua tangan dan membentuk tanda kutip dua dengan jarinya.
            “Aku sumpahin orang yang ngambil bakal kejatuhan ribuan cicak, kecoa, dan disengat lebah !” kata Diky dengan kesal.
            Tiba-tiba, tanpa diduga seekor cicak jatuh ke pundak Macha, seekor kecoa merayap di kakinya, dan seekor lebah hinggap di rambutnya. Macha berteriak saking kagetnya. Cicak, kecoa, dan lebah itu tidak mau pergi. Macha berteriak meminta tolong.
            “Aaaaaa !!! Tolongin aku, teman-teman !!! Aku nyesel mengambil paku itu. Tolong !! Aku takut.” Teriak Macha kecoplosan.
            “APA??! Macha? Beneran?” kata Jessie sambil menolong mengusir cicak, kecoa, dan lebah yang menempel pada tubuh Macha.
          Ketiga binatang itu akhirnya pergi. Macha duduk di sofa. Diky dan Jessie menatapnya tajam. Tatapan seolah menginterogasi seorang napi yang kabur dari penjara.
           “Macha, kamu tega banget, sih, mengambil paku mesin waktu itu?” Tanya Jessie.
           “Penghianat ! Kenapa kamu ngambil paku itu? Kamu mau mencelakakan Agnes? Kamu mau Agnes nggak kembali lagi, gitu? Agnes kan sahabat kamu. Kenapa kamu tega ngelakuin hal bodoh macam itu?” Maki Diky.
           Macha gemetar. Keringat dingin menetes dengan deras. Air matanya menetes melewati pipinya. “Maaf, Dik, Jess. Aku nggak bermaksud gitu. Aku.. aku.. aku cemburu sama Agnes ! Ia selalu jadi number one di sekolah, dulu Reki, orang yang sangat aku cintai, sempat dekat denganku, tapi semenjak Agnes muncul di kehidupanku, Reki lama-lama menjauh. Sampai aku mendengar kabar Reki dan Agnes jadian. Kalian tahu bagaimana rasanya jadi aku? Hatiku hancur. Reki seperti tidak menganggapku ada di dunia ini! Ia tidak mengenaliku lagi. Keluargaku selalu memuji Agnes. Kenapa, sih, semua orang menyayangi Agnes? Kenapa?” Macha terisak.
\                       “Tega-teganya kamu berbuat seperti itu. Apa kamu sadar resiko dari perbuatan mu? Sekarang kembalikan paku itu!” kata Diky dengan nada marah.
            Macha mengeluarkan paku dari kantung sweeternya, dan diberikan kepada Prof. Foggy. Prof. Foggy memasang paku dengan alat ciptaannya dibantu Diky. Sepuluh menit kemudian, paku berhasil terpasang dengan sempurna.
            “Baiklah, mari kita coba. Kalian siap?” Tanya Prof. Foggy.
            Diky, Jessie, dan Macha mengangguk bersamaan.
            “5.. 4.. 3.. 2.. ..”
         
05.50 WIB
Temanggung, 3 Agustus 2990
            Matahari mulai bercengkerama dengan dunia. Julian berhenti bersenandung, kemudian menatap Agnes penuh arti. Agnes balas menatap Julian. Mereka berdua saling bertatapan agak lama. Julian meraih tangan Agnes, dan memakaikan cincin di jari manis Agnes.
            “Kenapa kamu ngasih aku cincin?” Tanya Agnes.
            “Buat kenang-kenangan. Cincin itu namanya Furyring. Multifungsi, lho. Bisa untuk perhiasan, kalau malam bisa jadi lampu kalau kamu menekan tombol putih itu. Barang langka. Dijaga jangan sampai hilang !” Jawab Julian sambil menunjukkan tombol merah yang dimaksud.
            “Makasih.” Kata Agnes singkat.
            “Senang berkenalan dengan kamu, Nes.”
             “Iya, aku juga.”
             Tiba-tiba, sebuah cahaya dari langit menarik Agnes dengan kuat. Tubuh Agnes melayang diudara.
            “Selamat tinggal, Nes ! Kapan-kapan mampir lagi, ya?” Teriak Julian.
            Agnes tersenyum. Tanpa diduga, butiran air matanya menetes secara perlahan. Entah apa yang membuatnya menangis. Bayangan Julian lama kelamaan menghilang dari penglihatan Agnes. Hanya bayangan hitam yang ia lihat saat ini. Tubuh Agnes seprti di jatuhkan dari ketinggian. Rasa sakit perlahan-lahan menghampiri tubuh Agnes. Agnes tak sadarkan diri.

O6.30 WIB
Temanggung, 3 Agustus 1990
            “Agnes !! Bangun !” Teriak Jessie dan Macha.
             Agnes terjaga dari tidurnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan menatap Jessie dan Macha bergantian, kemudian ia menatap sekeliling. Ia berada dalam kamarnya.
            “Jadi Cuma mimpi ?!” Kata Agnes sambil menggeleng-geleng kepala.
            “Iya, kamu susah banget dibangunin. Kitakan akan pergi ke jumpa pers di Yogyakarta. Bisnya udah hampir berangkat. Nanti kita nggak kebagian novel gratis, lho, kalau sampai terlambat datang !”
            “Aku bermimpi menjelajahi waktu dengan mesin waktu buatanku.” Kata Agnes.
            “Ah, nggak mutu ! Udahlah, cepat, Nes. Dikejar waktu, nih !”
            Agnes bangkit dan bergegas mandi. Setelah itu Jessie, Agnes, dan Macha berangkat menuju terminal.
            Bus jurusan Temanggung- Yogyakarta menjemput Agnes, Jessie, dan Macha. Jessie dan Macha naik kedalam bus. Sementara Agnes menatap seorang pria diseberant jalan. Pria itu seperti dikenalnya, tapi ia tidak tau siapa.
            ‘Sepertinya dia ada didalam mimpiku, deh?’ Pikir Agnes.
            Pria itu tinggi, putih, dan memakai cincin berlian di jari manisnya.
            ‘Furyring? Itu cincin Furyring milik Julian. Jangan-jangan dia Julian?’
            Dengan tatapan masih menatap pria misterius itu, Agnes naik ke dalam bus. Tak lama kemudian, bus melaju menghilang ditengah keramaian kota pagi itu.

SELESAI .

0 comments:

Posting Komentar