Barangkali ada diantara kita yang selalu mencari kesempurnaan akan suatu hal. Padahal kesempurnaan itulah yang akan menghampiri kita suatu saat nanti.
Cerita berawal dari jalan setapak yang berkelok-kelok. Seorang laki-laki yang kehilangan arah, meratapi nasib. Rasa takut, kecewa, marah berkecamuk dihatinya. Bagaimana tidak? Seseorang yang benar-benar ia cintai meninggalkanya. Ditengah kegelapan malam menjelang pagi. Saat seseorang benar-benar membutuhkan apa yang dinamakan ‘kasih sayang’.
Satu
Senin, 11 Juli 2011
“Adji, bangun!”, teriak ibunda yang sudah ada di depan muka kakakku persis.
“Jangan pergi!”, kata kakakku saat masih dalam khayalan mimpi.
“Bunda, kenapa membangunkanku? Mimpiku terlalu indah untuk ditinggalkan”, amarah kakakku meluap.
“Kamu pikir bunda tega meninggalkanmu sendiri sementara anggota keluargamu enak-enak berlibur ke Bali saat liburan musim panas, hah!”.
Itulah mereka, setiap hari hanya bertengkar, bertengkar, dan bertengkar. Berbeda dengan keluarga lainnya, begitu harmonis. Seringkali aku malu dengan keluargaku sendiri. Walaupun aku juga tahu bahwa aku membutuhkan kasih sayang dari keluargaku sendiri, bukan orang lain.
Oh ya perkenalkan, ini adalah keluarga dengan anak terakhir bernama Massie Dibenedetto. Yang tadi dimarahin itu kakak Mass, Adji Selwish Sullivan, Mum bernama Claire Matthew Sanders, dan Dad Jhonny Elwin. Nama yang cukup bagus bukan. Minggu ini adalah minggu terakhir Mass masuk sekolah. Kalian tahu kenapa? Karena Musim Panas segera tiba. Dua hari lagi Mass dan keluarganya akan berangkat ke Pulau Bali. Tahu kan? Pulau kecil yang eksotis, terkenal di seluruh dunia karena keramahan penduduknya dan keindahan alamnya. Sayang, pulau itu sangat jauh. Dari California ke Bali menaiki kapal? Hello! Ini bukan saat Kota Kostantinopel jatuh ke Turki Usmani kali, Gubrak!
“Mass, ayo segera menge-pack barang! Perjalanan kita hampir dimulai" ujar Mas Adji.
“Apa? Hampir dimulai? Bukanya dua hari lagi? Untuk apa kita cepat-cepat? Besok juga ada waktukan?” bantahku, lumayan kasar.
“Kata Mum Claire, perjalanan dimajukan besok pagi. Terserah mau ikut atau tidak? Tapi lebih baik ikutkan!”
“Ah! Iya iya, ada satu hal yang ingin aku tanyakan. Apa kita ke Bali akan menjadi perjalanan yang seru?”
“Tergantung bagaimana kau menjalaninya!”
Dua
Selasa pagi, 12 Juli 2011
Pagi itu semuanya terkendali. Koper-koper yang membawa keperluan Keluarga Massie telah ada di sekitar teras. Pukul Sembilan pagi ini mereka harus sudah sampai di Pelabuhan.
“Mum, apa kau sudah panggil taksi?” Tanya Dad, pelan.
“Belum. Apa aku panggil Mr. Gundapea saja ya? Dia supir taksi juga-kan?”
“Ya, terserah! Aku periksa barang-barangku dulu”
Seketika itu rumah menjadi hening. Hanya ada suara telepon Mum dan Mr. Gundapea. Massie sendiri sibuk mau membawa baju yang mana. Kata Mum sih, mereka menginap di Bali, dua minggu. Whoa! Massie senang bukan kepalang, Ia akan terbebas sedikit dari banyak tugas rumah yang bisa dibilang sulit-sulit. Guru di sekolah Massie, SMP Internasional Seward juga tergolong guru yang galak, ganas, dan ‘iuh’. Kukira Massie frustasi sekolah disana, tapi sekolahnya adalah sekolah internasional yang disegani di California. Setiap siswa yang lulus, pasti bisa masuk SMA Internasional Packer. Tapi, SMA Internasional Packer prestasinya menurun beberapa waktu terakhir ini. Jadi, mana ada siswa SMP Internasional Seward mau mendaftar sekolah disana, mungkin hanya beberapa orang saja. Itu saja masih dalam kata ‘mungkin’.
Tet tet. Terdengar klakson taksi Mr. Gundapea. Cepat sekali dia. Lagi pula ini masih jam delapan kan. Ah, Mum-kan tipikal orang yang suka kata ‘sebelum pada waktnya’. Jadi apa-apa pasti semua harus dikerjakan sebelum waktunya habis. Kalau tidak, habislah, argh! Mr. Gundapea membantuku memasukkan koper-koper besar dan berat milik kami. Tapi itu sebanding kok dengan ukuran tubuhnya, besar dan berat, hahaha. Tiga … dua … satu … berangkat! Selamat tinggal California!
Saat di dalam taksi Mr. Gundapea, kami seperti patung. Hanya diam, diam, diam.
“Kenapa kalian memilih Bali? Bukanya ada Hawai? Hawai juga tak kalah menarik kan?” Tanya Mr. Gundapea. Ia tak senang jika penumpang taksinya diam seperti kami.
“Sebenarnya kami hanya ingin berlibur. Toh, kami juga pernah pergi ke Hawai” jawab Dad, bohong. Tentu saja keluarga Mass belum pernah ke Hawai. Ke Hawai-kan biaya yang harus dikeluarkan Dad lebih banyak. Hawai ialah pulau terindah di dunia, menurut Mass.
“Owh! Kita sampai, tarif minimal kalian hanya $ 5” jawab Mr. gundapea. Setelah mengambil koper-koper kami dari taksi dan membayar taksi, kini saatnya kami menuntunya sampai kapal. Gila, jauh banget! Sekitar 500 meter. Tak ada payung pula, disini panas. Mungkin kalau ada ikan, dan kau meletakan ikan itu disini, pasti dalam tiga puluh detik ikan itu langsung matang, gosong malah.
“Selamat datang di pelayaran luar negeri pelabuhan kami. Tujuan kapal ini adalah Pulau Bali, dan ……..” celoteh seseorang, seperti pramugari dipesawat. Kalau saja perjalanan ini menggunakan pesawat pasti akan terasa lebih ringan karena waktu yang mereka tempuh sekitar enam sampai sepuluh jam. Kata Mum, perjalanan mereka kurang lebih empat hari, padahal kapal yang mereka naiki adalah kapal berlebel express. Gila! Bisa mati aku, ucap Massie dalam hati. Disini empat hari, tidak ada cewek yang seumuran dengan Massie lagi. Saatnya ber-‘duka’ ria.
Tiga
Rabu siang, 13 Juli 2011
Satu hari di dalam kapal sangatlah mengerikan. Di sini Mass seperti mau muntah. Kalian tahu keadaan toilet di kapal mengerikan ini? Seperti kandang ayam. Sudah kecil, bau, berantakan lagi. Saat sedang berjalan-jalan disekitar tempat kemudi, Massie tanpa sengaja mendengar percakapan antara nahkoda dan satu lagi siapa, entahlah. Tak lupa Massie mengeluarkan hp-nya dan merekam apa yang terjadi.
“Mr. apa kau yakin kapal ini masih bisa berjalan lagi? Kapal ini kelebihan muatan sekitar dua puluh kilo. Jika kita tidak membuang barang-barang mereka, kapal kita akan oleng” Tanya seseorang terhadap nahkoda.
“Aku tahu. Tapi jangan kita buang barang-barang milik penumpang! Lebih baik kita buang saja pemilik barang-barang itu. ke tengah laut” Jawab nahkoda.
“Kau Gila? Ini sangat berbahaya, kalau pemerintah tahu bagaimana? Kau tahu kan janji pelaut?”
“Demi keselamatan penumpang lain. Dan jangan sampai pemerintah tahu. Semua akan kacau”
Glodak!! Tak sengaja Massie menjatuhkan drum yang semula berdiri tegak. Nahkoda dan temannya tentu saja kaget. Ada salah satu penumpang yang mengetahui rencana buruk mereka. Segera nahkoda dan temannya mengejar Massie. Sang Nahkoda juga sudah mengatur kapal agar bisa bergerak ke tujuan secara otomatis. Untung Massie adalah pelari yang hebat. Dalam beberapa detik, Ia sudah bisa menghilang di tengah kerumunan penumpang. Tampak wajah gelisah menyelimuti nahkoda dan juga temanya.
“Tenang, Aku hafal bagaimana muka gadis tersebut. Nanti malam, kita buang dia. Tentu beratnya lebih dari dua puluh kilo kan!” ucap nahkoda. Teman nahkoda hanya menjawab dengan anggukan. Wajah suram juga menyelimuti Massie. Ia tidak siap kalau ternyata orang yang harus dibuang adalah keluarganya sendiri, terlebih Mas Adji. Ia bahkan sempat meneteskan air mata. Betapa kejam dan jahat hati nahkoda dan temannya itu. Sejak saat itu, Ia hanya terdiam di tempat tidurnya dan memikirkan semuanya. Selimutnya yang bisa menutupi kesedihannya. Setiap ada keluarganya yang lewat, ia langsung pura-pura tidur. Tapi tidak saat Mas Adji lewat.
“Mass, kau kenapa? Aku bisa membantu?” ujar Mas Adji menenangkan.
“Jika Aku bisa memutar waktu, Aku ingin kita tidak ada di kapal mengerikan ini. Aku takut!” jawab Massie.
“Kadang semua hal yang kita lihat itu hanya ilusi. Tidurlah, selama itu bisa menenangkanmu. Aku pergi dulu” ungkap Mas Adji. Kata-kata Mas Adji masih terngiang di kepala Mass. “Kadang semua hal yang kita lihat itu hanya ilusi”.
“Apa yang dilihat olehku itu hanya ilusi? Tapi kenapa hatiku berkata kalau itu asli. Mungkin benar apa yang Mas Adji. Ah! Rekaman ini bagaimana? Apa sebaiknya Aku tes dulu ya? Akh, tidak perlu. Aku simpan hp ini di tempat yang aman. Huft, tidur untuk menenangkan pikiran. Selamat tidur!” ungkap Massie dalam keheningan kamarnya.
Rabu malam menjelang pagi, 13 Juli 2011 memasuki 14 Juli 2011
“Kau yakin?” ucap teman Sang Nahkoda.
“Demi penumpang. Aku hafal ciri-ciri gadis tadi yang kau sebutkan. Sepertinya Ia menginap di koridor tiga dan bernomer kamar delapan. Semoga Aku tak salah. Ayo bertindak!” jawab nahkoda. Kemantapan jiwanya sangat besar. Ini yang kita patut dicontoh. Tapi sayangnya Ia gegabah dalam mengambil keputusan. Mereka berdua menyusuri koridor demi koridor sampai mereka berada di depan pintu koridor tiga. Tanpa basa-basi Mereka langsung menuju ke kamar nomer delapan. Saat menemukan Massie, nahkoda menyuntikkan sesuatu ke lengan Massie. Mungkin itu cairan penidur. Gerakan mereka sangatlah cepat, tidak ada seorangpun yang mengetahui. Mereka segera menggotong Massie ke pinggir kapal. Satu … Dua … Tiga … Byurr!
Empat
Kamis pagi menjelang siang, 14 Juli 2011
Pulau yang tak berpenghuni, Pulau McKenna. Di sanalah Massie terdampar. Cairan yang disuntikkan nahkoda dan kawanya itu cukup membuat Mass tak sadarkan diri selama berjam-jam. Bahkan saat terombang-ambing di lautan. Sekarang Massie benar-benar seperti orang yang kehilangan arah.
“Hoah! Aku capek, wuih? Kenapa semua bajuku basah? Ini masih di kapalkan? Aaaaaaaaa!” celoteh Massie. Ia kaget saat melihat semuanya berubah. Sejauh mata memandang hanya ada pasir putih, pohon kelapa, dan dirinya, sendirian. Secara spontan Ia berteriak tolong tolong, tapi percuma kan. Pulau ini jauh dari semuanya. Massie sadar, nahkoda dan kawanyalah yang membuangnya.
“Tidak bisa diterima. Bagaimana bisa aku hidup disini? Enggak bawa hp lagi. Ini sangat menyakitkan. Tolong aku!” teriak Massie. Tiba-tiba ada sesuatu dibaling semak-semak sana.
“Heh! Keluar, aku butuh bantuanmu!” teriak Mass, lagi.
“Kau harus berbuat sesuatu jika menginginkan sesuatu, dasar bodoh!” ujar seseorang yang … tidak menginjak tanah?
“Heh! Siapa kamu? Arwah, atau proyektor, atau hanya ilusiku. Tidak lucu! Cepat bantu aku pergi dari pulau ini. Aku ingin kembali ke kapal itu dan mengungkap kebenaran. Aku juga sedang dalam perjalanan ke Bali tahu!” bentak Mass.
“Telingamu kebanyakan kotoran atau bagaimana? Aku sudah bilangkan Kau harus berbuat sesuatu jika menginginkan sesuatu. Perkenalkan aku Bob, arwah yang mati beberapa hari yang lalu” jawab arwah itu.
“Tak lucu! Cepat matikan proyektornya dan muncul di hadapanku, sekarang!”
“Okay, kau memang sudah rabun, gadis bodoh!” jawab Bob menghentikan percakapan mereka. Namanya Bob, kalian tahu kan! Ia meninggal empat hari yang lalu, karena Ia bunuh diri. Ia memang gegabah, tapi itu dia lakukan agar tak ada di pulau itu lagi, Ia frustasi hidup sendirian di McKenna.
“Bob, aku minta maaf. Bisa kau ceritakan pulau ini padaku? Mungkin aku mengetahui pulau ini, mungkin” ujar Mass dengan lembutnya. Ia sadar Ia tak bisa hidup di pulau itu selama berhari-hari.
“Pulau McKenna. Oh ya, namamu siapa?”
“Massie Dibenedetto. Aku dalam perjalanan ke Bali. Tapi karena kapal kelebihan muatan, akhirnya Aku dibuang oleh nahkoda dan temanya. Mungkin hanya dijatuhkan ke tengah laut. Entah, aku tidak tahu keadaan di kapal sekarang. Mungkin keluargaku mengkhawatirkan aku, mungkin melupakan aku” jawab Massie merendah.
“Aku pernah membaca buku, konon siapa yang terdampar di pulau ini akan bisa mengungkap apapun yang ingin Ia ungkap. Kurasa Kau tepat berada disini” jawab Bob. Sekarang mereka berdua bekerja sama untuk mengeluarkan Massie dari McKenna. Ini tak semudah yang mereka bayangkan. Hanya saja semua lebih ringan dengan kehadiran Bob, bagi Massie. Bob sebenarnya menyenangkan, tapi sayang Ia telah tiada. Kalau saja Ia masih hidup. Sayang. Rencana mereka sia-sia. Tak ada apapun McKenna
Lima
Jumat siang, 15 Juli 2011
Suasana pinggir pantai saat siang benar-benar terik. Tapi ini menyenangkan. Mass menemani Bob mencari ikan di laut. Tentu saja Mass yang menangkap ikan, Bob yang menunjukkan persembunyian ikan. Saat perut Mass penuh akan makanan, Ia duduk termenung di pinggir pantai. Klotak, sebuah botol mendarat di pantai dengan selamat. Ada surat didalamnya. Mass memanggi Bob dan mengajaknya membaca bersama.
“Tragis ya, kasihan pemilik surat ini. Aku serasa ingin menangis” tutur Massie setelah membaca surat tersebut.
“Kenapa tidak Kau lakukan hal yang sama. Bisakan Kau membuat surat, masukkan ke botol itu, dan hanyutkan di deburan ombak sana. Biasanya pada malam hari deburan ombak sangat besar. Akan Aku bantu sebisaku. Mau?”. Saran Bob lumayan membantu Massie. Mereka menggunakan kertas dan pena yang ada di dalam botol. Surat yang ditulis Massie lumayan singkat, mengingat tinta yang tersisa tinggal sedikit. Malamnya suasana begitu indah. Bulan berdekatan dengan Bintang. Malam itu juga tidak terlalu dingin. Kini saatnya Massie menghanyutkan botol berisi surat itu.
“Dengan semua kesucian hatiku padaMu, semoga surat ini bisa sampai ke tangan keluargaku. Semoga semua membacanya dan segera mengirimiku bantuan” pinta Massie kepada Sang Khalik. Tampak tetesan air mata dari kedua matanya.
“Apa dia tak sanggup hidup di sini bersamaku?” Seru Bob dalam hati terkecilnya. Ia mulai mempunyai rasa sayang yang mulai tumbuh untuk Massie. Tapi Ia tahu, Massie dan dirinya berasal dari dunia yang berbeda. Mereka tak mungkin bersatu.
“Ayo segera tidur” pinta Bob.
Jumat pagi, 15 Juli 2011
Tampak suasana ramai di pemberhentian kapal, di Papua Nugini. Kapal yang membawa Keluarga Massie menyebrangi Samudera Pasifik dan kehabisan bahan bakar di sekitar Papua Nugini. Padahal perjalanan mereka semakin dekat. Tempat itu juga disekitar pantai yang cukup indah. Deburan ombak dan suara burung pantai lumayan melegakan perasaan Mum. Ia merasa sangat bersalah atas hilangnya Massie. Tapi semua itu akhirnya bisa diterima Mum, Mas Adji dan Dad membantu menenangkan pikiran Mum. Beberapa lelucon masa lalu milik Dad Ia keluarkan semua demi Mum. Saat keluarga Massie duduk di pinggiran pantai, Mum melihat sebuah botol tembung pandang, isinya surat.
“Ada botol. Semoga dari Massie!” pinta Mum. Dibukanya surat itu dan isinya :
Dad Elwin, Mum Claire, Mas Adji apa itu benar kalian yang membacanya? Semoga iya. Ini Aku, Massie Dibenedetto, keluarga kalian. Masih ingatkan? Yang beberapa hari menghilang. Bantu Aku keluar dari pulau ini ya, Pulau McKenna. Aku disini baik-baik saja kok, tapi Aku kelaparan Mum, Dad, Mas Adji. Mmm, Kalian tahu siapa yang membuatku terdampar di pulau tak berpenghuni ini? Aku akan mengungkapkanya saat nahkoda dan satu temannya ada di persidangan percobaan pembunuhan beberapa hari setelah Aku sampai.
Salam manis, Massie Dibenedetto dan Bob, teman baruku.
Tanpa banyak basa basi, Keluarga Massie segera menyerahkan surat itu kepada Tim SAR. Mum juga meminta perwakilan dari keluarganya bisa membantu mencari. Akhirnya setelah disepakati, Mas Adji yang ikut. Malamnya, bantuan untuk Massie akhirnya sampai ke Pulau McKenna. Mas Adji cukup lama berputar-putar mengitari McKenna untuk mencari Mass. Ia juga mengeluarkan suara nyaringnya untuk mencari Massie. Saat sedang mengitari, Ia melihat seorang gadis duduk termenung di pinggiran pantai.
“Apa itu Massie ya? MASSIE?” teriak Mas Adji. Gadis itu menoleh. Benar, Ia Massie. Mereka berdua langsung berpelukan. Air mata tak bisa dihindarkan lagi. Hanya ada pelukan hangat antara sang kakak dan adiknya.
“Aku merindukanmu. Dari mana saja kau selama ini?” Tanya Massie tanpa melepas pelukanya.
“Itu tak penting. Oh ya dalam suratmu tertulis kata Bob, siapa Dia? Apa Dia juga korban sepertimu? Ayo ajak Dia!”
“Ini tidak masuk akal Mas, tapi ini juga bukan sebuah ilusi. Bob, apa kau mendengarku?”
Selama beberapa detik tidak terdengar suara apapun. Massie juga beberapa kali mengulangi memanggil Bob, tapi tidak ada jawaban.
“Bob, keluarlah! Ini Aku, Massie. Apa Kau lupa? Ada kakakku disini. Ayo kesini Bob!”
“Mungkin itu benar ilusi Mass. Ayo kita kembali!”
“Hiks hiks! Bob itu bukan ilusi”. Dengan langkah gontai, Massie dan Mas Adji kembali ke pinggir pantai. Tak lupa pemimpin rombongan ini memanggil semua relawan pencari Massie untuk kembali ke kapal. Tak lama kemudian, kapal melaju. Dari balik semak-semak terlihat Bob yang menitikkan air mata.
“Maaf Mass, tidak ada yang boleh tahu tentang duniaku. Aku sayang kamu. Kembalilah Mass!” pinta Bob. Disaat-saat terakhir seharusnya Ia mengucapkan kata terakhir untuk Massie. Tapi sayang, Ia hanya takut semua orang akan mencari dirinya, GR banget ya! McKenna sekarang benar-benar kosong. Hanya ada satu arwah yang selalu menunggu seorang gadis yang Ia sayangi. Bob menunggu Massie.
Enam
Sabtu pagi, 16 Juli 2011
Suasana tegang menyelimuti pantai di Papua Nugini itu. Detik-detik kepulangan Massie ke keluarganya. Semua jelas menunggu momen itu. Tampak sebuah kapal berlayar mendekati pantai. Kapal Massie.
“Mum, Dad, Aku merindukanmu!” teriak Massie saat menuruni tangga. Tak dapat ditolak lagi, saat Massie sampai di depan mata Mum dan Dad mereka seperti teletubbies, berpelukan. Massie menceritakan semua kejadian yang Ia alami di Pulau McKenna. Dad, Mum? TIDAK. Tapi tentu rasa ke-tidak percayaan mereka terhadap cerita Massie dapat mereka tutupi dengan kata ‘Waw! Masa?’ dan lainya.
“Kapan sidang dimulai? Aku tidak sabar” Tanya Massie dengan rasa penasaran yang tinggi saat situasi kembali normal.
“Dua hari lagi sayang. Jangan khawatir! Semua sudah terkontrol. Kami telah memanggil kepolisian California. Nahkoda dan temannya itu sudah ditangkap oleh Kepolisian California. Mereka sudah ada di Bali, menunggumu sayang. Dan saat kita sampai di Bali Kau harus segera datang ke Pengadilan disana!” tutur Mum.
“Terimakasih Mum. Aku tidak sabar untuk membuktikan kejadian yang sebenarnya pada mereka” tukas Massie.
Tujuh
Senin pagi, 18 Juli 2011
Keluarga Massie sampai di Pelabuhan Bali dengan perasaan sukacita. Mereka juga sudah memesan dua kamar. Hotel Chapter Acclaim, dulu kakek Dad pernah berkunjung disini. Dengan fasilitas yang komplit dan harga yang tidak terlalu tinggi. Dan untuk acara nanti, sidang di pengadilan, Massie juga sudah siap. Kepekaan batin Massie begitu kuat. Ia telah mempersiapkan segala sesuatunya lebih dari sekedar matang. Pidato, rekaman atau bukti, baju yang Ia kenakan, juga sarapan yang harus ada saat Ia bangun pagi.
“Nahkoda dan kawanmu, jabatanmu sebagai nahkoda akan kandas dan akan diganti dengan kata ‘tahanan’ untuk beberapa tahun kedepan. Ahahahah!” ungkap Massie sebelum berangkat.
Sesampainya mereka di pengadilan, banyak orang yang sudah duduk di kursi tamu disana. Tampak juga keluarga dari semua belah pihak. Mereka akan memberi dukungan. Sidang dimulai.
“Saudara Massie, apa tuntutanmu terhadap tersangka?” Tanya hakim dengan nadanya yang khas. Massie menjelaskan semuanya dari awal. Ia juga memperlihatkan bukti yang Ia rekam. Kurang lebih dua jam waktu berlalu di pengadilan. Hakim yang bijak tahu apa yang harus Ia lakukan.
“Apa pembelaanmu James, Baker?” Tanya hakim. Ternyata nahkoda itu bernama James, dan temanya bernama Baker. Fiuh! Sebenarnya selama tiga kali mereka berdua mengaku tidak bersalah, akhirnya pada detik-detik terakhir, kalimat yang mereka ucapkan …
“Kami mengaku bersalah, Pak Hakim” jawab mereka serempak.
“Akhirnya, saya selaku Hakim Agung memutuskan, Saudara James dan Baker dinyatakan bersalah atas tuduhan pembunuhan. Apapun motifnya, jika ini tidak didasari dengan pertimbangan yang matang dan persetujuan dari semua pihak, dianggap melanggar hokum. Saudara James dan Baker dijatuhi hukuman dua belas tahun penjara”. Ketokan palu mengakhiri sidang hari ini. Massie tersenyum puas. Ia tahu kebenaran akan terungkap. Hanya orang yang bodoh yang mau melawan kebenaran.
Delapan
Selasa pagi, 19 Juli 2011
Bob, kamu disana kan? Aku Massie. Benar apa katamu, siapa yang terdampar di pulau ini akan bisa mengungkap apapun yang ingin Ia ungkap. Aku juga ingin mengungkapkan sesuatu. Aku sedikit punya rasa sayang untukmu. Walaupun kita bertolak belakang, kita bisa menjalin hubungan-kan? Aku akan kesana kapan-kapan. Tunggu aku ya! Salam sayang, Massie.
0 comments:
Posting Komentar